![]() |
Photo by Rachel Claire on Pexel |
Kata “healing” menjadi populer beberapa tahun belakangan. Kata “healing” juga sering dianalogikan sebagai refreshing. Menurut Cambrige Dictionary, “Healing” mengacu pada proses rekonsiliasi batin dan kesedihan, sementara “Refreshing” lebih mengacu pada mencari kesegaran di kala hari sedang panas. Bahkan, kata “healing” sempat menjadi kata terpopuler di Google Search Indonesia pada tahun 2022. Menariknya, ada sebuah buku yang membahas healing dari perspektif Al Qur’an.
Buku ”Healing with Al-Qur’an” merupakan terjemahan
dari buku berbahasa Arab yang berjudul “Raqaiq Al-Qur’an” yang
diterjemahkan oleh penerbit Aqwam. Buku ini merupakan karya dari seorang Syekh
Ibrahim Umar As-Sakran, ulama berkebangsaan Arab Saudi. Buku ini menyoroti
bagaiman fenomena dunia modern menarik manusia kepada jebakan rutinitas dan
perbuatan yang sia-sia. Hingga manusia terkadang berada pada situasi yang
membingungkan termasuk kemana harus menentukan arah hidup. Penulis mengkaji
berbagai fenomena dunia modern dan membandingkan dengan hasil tadabbur
Al-Qur’an. Dari perbandingan tersebut, penulis menemukan betapa pantaslah bila
Al-Qur’an merupakan petunjuk yang tidak terbatahkan dan dapat menjawab
persoalan hidup termasuk pada persoalan hidup dunia modern.
Penulis juga menyoroti mengenai kemajuan telekomunikasi
modern. Ramainya media sosial dengan segala platform nya dan hal
tersebut merupakan suatu nikmat yang patut kita syukuri. Namun, dalam perpektif
yang lain, media sosial terkadang malah menjadi bumbu yang tidak kita perlukan
dalam aktivitas harian kita. Penulis menyampaikan, kebisingan dunia modern
malah menambah kebingungan manusia. Alih-alih menjadi hiburan, media sosial
kerap menjadi sebuah standar untuk mengukur keberhasilan atau seberapa gagal
nya kita dibandingkan dengan orang lain. Inilah yang kemudian menjadikan
manusia lalai bahkan cenderung mudah masuk ke dalam kemaksiatan, yang pada
akhirnya menjadikan hati keras dan berujung pada melemahnya iman serta
mengguncang ketenangan jiwa. Entah bagaimana, ketika membaca bab pembukaan, saya
kemudian tersadar. Wajarlah bila manusia modern dewasa ini banyak mengalami
masalah dalam kesehatan mental atau mental health. Sehingga kata “healing” menjadi trending
topic.
Namun persoalannya, apakah “healing” bisa sesederhana
“refreshing”? Ketika seseorang mengalami situasi dimana kesehatan
mentalnya terganggu, lantas bisa “healing” ke suatu tempat dan
kesehatannya membaik?
![]() |
Dokumentasi pribadi |
Dari buku ini, saya menemukan penjelasan yang masuk akal
mengenai bagaimana proses “healing” seharusnya bukan keluar, melainkan
ke dalam. Ke dalam jiwa kita yang sakit. Karena kemanapun kaki melangkah namun
tidak ada ketenangan dalam jiwa, maka ketika kita kembali ke rumah atau
aktivitas sehari-hari kita, maka kesakitan itu akan muncul kembali.
Bab pertama dari buku ini yang cukup mengesankan bagi
saya adalah penulis menyampaikan mengenai bagaimana seharusnya manusia bisa “healing”,
yaitu dengan mengingat kematian. Pada permulaan bab, penulis menceritakan
pengalaman spiritual beliau tentang kematian sahabatnya yang beberapa hari
sebelumnya masih ditemuinya. Penulis kemudian metadabburi ayat-ayat dalam
Al-Qur’an yang membicarakan tentang kematian. Kematian hakikatnya sebuah akhir
yang pasti. Bahkan ketika kita mencoba mengalihkan pikiran diri dari kematian
dengan melakukan hal-hal yang menyenangkan hati kita, sejatinya batas waktu itu
sudah ditetapkan. Dan inilah kelalaian pertama manusia, mempersiapkan kematian
yang indah. Katakanlah: "Sesungguhnya kematian yang kamu lari
daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu
akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata,
lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan"
(QS. Al-Jumu’ah : 8).
Lebih jauh, saya mendapati bahwa Al-Qur’an telah
memberikan isyarat mengenai dekatnya ajal dengan kelalaian yang tiada henti.
Sebagaimana digambarkan pada QS. Al-Anbiya : 1, “Telah dekat kepada manusia
hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi
berpaling (daripadanya).” Apabila kita tadabburi lebih jauh, fenomena media
sosial membuka arus informasi menjadi begitu deras untuk kita konsumsi.
Sehingga apabila kita tidak memiliki kemampuan untuk membatasi dan juga
menyaring mana informasi yang baik dan bermanfaat untuk kehidupan akhirat kita,
maka kita akan cenderung untuk lalai dari mengingat kematian bahkan untuk
mempersiapkan kematian yang indah. Ketika melihat teman A posting sedang
liburan, kita akan mungkin untuk terpancing untuk merencanakan hal yang sama.
Lalu, ketika melihat pencapaian teman B dalam hal financial, kita
kemudian juga tiba-tiba bisa tertarik untuk bisa mencapai hal yang sama.
Padahal bisa jadi baik kondisi teman A atau B, bukanlah kondisi yang akan Allah
takdirkan kepada kita. Sehingga, kesibukan kita untuk bisa merasakan nikmat
yang sama dengan mereka, menjadikan kita lalai dari amal shalih yang sudah
Allah persiapkan untuk kita di depan mata. Subhanallah…
![]() |
Dokumentasi pribadi |
Pada buku ini, penulis juga menyampaikan mengenai naik
turunnya iman seorang manusia. Momen ketika iman sedang naik dan hati condong
kepada Allah, merupakan momen yang terbaik yang pernah ada di dunia.
Begitu pula sebaliknya, ketika iman
sedang turun dan kita tidak terhubung dengan Allah, sejatinya itu adalah momen
yang mengerikan. Namun terkadang kita tidak menyadarinya. Kelalaian-kelalaian
yang kita lakukan akan membawa kita pada hati yang keras dan mengakibatkan
berkurangnya ketaatan kita kepada Allah sehingga tidak jarang manusia akan
dikuasai oleh hawa nafsunya. Salah satu bentuk kelalaian yang sering dijumpai
masyarakat modern adalah bagaimana perbandingan sikap mereka di 2 waktu yaitu
waktu subuh dan waktu awal mulai beraktivitas. Ketika adzan subuh berkumandang,
ada sebagian orang yang bergegas menunaikannya dengan penuh ketenangan, namun
ada pula yang santai bahkan menunda sholatnya dan tetap asyik melanjutkan
tidur. Berbeda dengan sikap ketika berhadapan dengan waktu awal aktivitas,
misal jam 7 pagi. Jalanan ramai penuh dengan orang-orang yang bergegas ingin
tiba secepatnya di tempat tujuan. Para orang tua begitu mengusahakan agar
anaknya tidak terlambat masuk sekolah. Tapi bagaimana bila ketika waktu adzan
subuh, apakah para orang tua tersebut juga mengusahakan agar anaknya terbangun
dari tidurnya dan bergegas melaksanakan sholat? Ketika membaca bab ini, saya
merasa terpukul sekali. Selama ini, bisa jadi kita telah salah menempatkan
prioritas dalam hidup. Sehingga isu kesehatan mental meningkat. Meningkatnya
arus informasi ditambah kurang nya kemampuan untuk menyaring informasi
tersebut, ditambah dengan salah menempatkan prioritas dalam aktivitas
sehari-hari, alih-alih mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia, justru
malah menjadi jebakan bagi jiwa yang naik turun keimanannya.
Bagian yang paling saya suka dari buku ini adalah bab tentang “Apakah Masyarakat Kita Lebih Baik dari Masyarakat Rasulullah?” Pada bab ini, penulis menyoroti mengenai sifat-sifat orang munafik yang banyak disebutkan dalam Al-Qur’an. Mengapa kemunafikan? Karena kemunafikan terkadang muncul disebabkan oleh perkara-perkara yang kita anggap remeh. Seorang munafik di masa Rasulullah juga mendirikan shalat, bersedekah dan mengingat Allah. Ini seolah mengingatkan kita semua bahwa kita bisa tersandung oleh batu kecil yang saking kecilnya, terkadang tidak kita anggap. Bisa dibayangkan, di masa Rasulullah dimana wahyu turun ditengah-tengah mereka beserta mukjizatnya namun tetap saja ada beberapa orang diantara mereka yang terjangkit sifat munafik, lantas bagaimana dengan masyarakat modern saat ini?
Kembali kepada point utama buku ini yaitu
bagaimana Al-Qur’an adalah sumber utama “healing” yang sesungguhnya,
satu hal yang kerap dilupakan oleh masyarakat modern adalah bagaimana menjadi
manusia yang tetap tenang dalam hiruk pikuk dunia. Ujian hidup yang datang
silih berganti yang kadang membuat kita rasanya ingin menyerah dan merasa tidak
sanggup. Ternyata Allah sudah berikan tuntunan bagaimana cara untuk
menghadapinya. Serta bagaimana keterkaitan antara bab membuat kita memiliki
pemahaman yang utuh mengenai bagaimana seharusnya manusia mendudukan hati agar
tidak mudah sakit. Termasuk bagaimana menjadi manusia terkuat di dunia.
Ketika membaca buku ini, tanpa sadar kita akan dibawa
untuk memahami Al-Qur’an dalam dimensi yang dekat dengan kehidupan kita
sehari-hari. Bahasanya ringan dan mudah dimengerti. Semoga dari membaca buku
ini, bisa membawa pembaca untuk mempelajari Al-Qur’an lebih dalam lagi.
Kontributor : Rizki Amalia (Rahmah Study Club Member)
Referensi :
1. Buku
“Healing with AlQur’an”
https://www.pramborsfm.com/lifestyle/trend-baru-healing-jadi-kata-populer-di-google-search-indonesia
https://student.binus.ac.id/malang/2023/06/14/makna-asli-dibalik-istilah-kekinian-healin/
0 comments