Menjadi Perempuan yang Ahsanu Amalaa

Semalam menjadi pertemuan pertama kami di Rahmah Study Club di sesi terbaru setelah sempat break beberapa pekan. Pekan ini kami membahas lima ayat pertama dari  Surah Al-‘Alaq. Seperti biasa, selepas mengikuti meeting pekanan, kepala dan hati saya jadi penuh. Lewat insight yang teman-teman bagikan, pengetahuan saya jadi lebih kaya dan cara saya memandang diri & kehidupan saya, jadi berbeda.

Maka, izinkan saya menuliskan isi kepala saya, sebelum semuanya menguap bersama kepulan asap yang membumbung tinggi dari dapur kecil saya.



Lebih dari sebuah proses penciptaan manusia yang diciptakan dengan kesempurnaan Rabb-nya, menurut saya, ayat ini mengajak kita untuk lebih menyadari siapa sebetulnya diri kita dalam kehidupan sehari-hari.  Apalagi saat membaca sebuah jurnal semiotik tentang surah yang membuat saya terdiam cukup lama.. 


"...the purpose of this verse is an advice and guidance to humans to be aware of themselves in living their lives."


Kalimat "guidance to humans to be aware of themselves in living their lives" inilah yang membuat saya berpikir ulang. Yang tadinya memandang Al-'Alaq sebagai pondasi dasar ilmu pengetahuan dan pembuka peradaban, perlahan saya jadi melihatnya sebagai sebuah surah untuk kembali bertanya pada diri sendiri, "Siapa sih saya ini dalam kehidupan sehari-hari? Maunya apa? Prioritas hidupnya apa? Goals-nya ke mana?"


Mengenali Diri Sendiri Berarti Mengakrabi Allah (lagi)


It's makes me think, sebetulnya saya ini sudah mengenali diri sendiri belum sih? Apa kita sadar bahwa Allah menciptakan manusia dengan segala kesempurnaan yang dimiliki-Nya?


Perlu diingat bahwa proses mengenali diri sendiri itu tidak bisa terlepas dari siapa yang menciptakan manusia. Tidak mungkin membicarakan tentang diri sendiri tanpa membicarakan kehebatan sifat Allah di dalamnya. Kita menghebat karena Allah, bukan karena diri kita sendiri. 


اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَ‌ۚ 

خَلَقَ الۡاِنۡسَانَ مِنۡ عَلَقٍ‌ۚ‏

Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,

Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.


Bahkan sejak masih menjadi (maaf) sperma, Allah sudah mengatur kehidupan kita kelak seperti apa. Hanya sperma dengan kualitas terbaiklah yang mampu membuahi sel telur. Artinya, sejak awal kita memang diciptakan untuk menjadi makhluk yang sempurna dari makhluk Allah yang lain. Mbak Samirah semalam pun mengingatkan, menukil Ustad Dr. Muhammad Yahya yang mengatakan bahwa Allah menciptakan kita bukan untuk menjadi manusia yang so so, yang biasa saja. Tapi ingin kita menjadi manusia excellent, ahsanu amalaa (manusia dengan kualitas terbaik). 


Lalu sebagai seorang perempuan, bagaimana Allah ingin kita menjadi ahsanu amalaa?


Ingatan saya kemudian melayang pada ucapan mbak Vadila, “Ketika sedang mentadabburi Al-Qur’an lalu anak memanggil, ya seharusnya kita langsung merespon. Artinya apa yang kita tadabburi langsung dipraktikan karena yang wajib dan diprioritaskan adalah mengasuh anak."


Mbak Vadila sedang ingin mengingatkan kita semua bahwa tugas utama kita di dunia ini salah satunya adalah menjadi ibu. Kita boleh menjadi seorang pembelajar, tapi apalah arti sebuah pembelajaran (pengetahuan) jika kita tidak mengamalkannya pada apa yang paling dekat dengan kita: anak-anak kita. 


Belum lagi mbak Sarah menyoal ibunda  Khadijah Radhiyallahu 'Anha yang oleh ustadz Budi Ashari digambarkan sebagai istri setenang malam. Ustad Budi Ashari menjelaskan bahwa istri setenang malam adalah istri yang mampu meneduhkan dan “mengistirahatkan” gemuruh badai di dada suaminya. Istri yang memilih kalimat yang teduh yang berasal dari hati yang tawadhu’, qona’ah dan ridho. Istri yang bisa diandalkan suami ketika penat melanda, tempat suami menyandarkan kepala dan mencari kedamaian.


Lihat bagaimana Khadijah Radhiyallahu 'Anha dengan sabar menyelimuti Nabi Muhammad saw ketika wahyu pertama ini diturunkan. Menjadi tempat Rasulullah saw merebahkan jiwanya yang terguncang ketika Jibril mendatanginya. Beliau memilih kata-kata yang mampu menenangkan kegundahan Rasul.


Photo by Changhui Lee on Unsplash
So let's connect the dots... 

Itulah kita saat ini, ciptaan Allah yang ahsanu amalaa sebagai seorang istri dan ibu bagi keluarga kita. Menjadi sandaran yang mendamaikan bagi suami dan anak-anak. ~sampai sini kok tiba-tiba saya merasa tanki cinta di jiwa saya menjadi penuh dan damai ya? 

Jika memang saya mentadaburi setiap ayat Allah dengan baik, seharusnya itu tercermin pada bagaimana saya memperlakukan suami dan anak-anak dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai seorang perempuan yang mengemban dua tugas mulia sebagai seorang istri dan ibu, maka seharusnya saya bisa menjadi ahsanu amalaa sesuai dengan guidance dari Allah tadi. 

Seharusnya saya bisa menjadi rumah tempat mereka pulang.  Rumah di tengah keheningan malam... yang tenang dan penuh kedamaian. Sebuah tempat untuk mereka melepas penat dan menumbuhkan harapan. 

Memprioritaskan amanah yang sudah Allah berikan di awal penciptaan kita, semestinya membuat saya bisa lebih mengakrabi Allah swt (dan petunjuk-Nya) lagi. Sayangnya, terkadang saya ini abai dengan jati diri saya, pun dengan tugas mulia tadi. Saya bahkan lupa mengoptimalkan pentujuk dan ilmu dari Allah untuk menjalankan amanah dengan baik. Saya abai  meneladani Ibunda Khadijjah Radhiyallahu 'Anha.

Jangan-jangan kita masih jauh dari gambaran tersebut.

Bergantunglah Hanya Pada Al-Akram

Ketika beberapa teman mengeluhkan bahwa terselip rasa minder di hati saat menyimak insight teman lain atau banyaknya sumber yang dikaji, diam-diam saya menganggukkan kepala. Padahal saya tahu, RSC bukanlah tempat untuk mengadu siapa yang paling banyak sumber kitab atau kajiannya, pun bukan tempat saling berlomba-lomba membuat resume yang cantik dan lengkap. Tapi tetap saja, insecure itu diam-diam menyelinap dan menimbulkan rasa minder di hati.

Lalu saya seperti ditampar ketika mbak Iva mengingatkan bahwa kita adalah makhluk lemah, itu benar adanya. Namun ada Allah yang menguatkan kita. Ada Allah yang membekali kita dengan pengetahuan yang sebelumnya tidak kita ketahui, ada Allah yang memberikan kecukupan ilmu pengetahuan dan ada Allah tempat kita bergantung. Minta sama Allah supaya diberi pemahaman yang baik, supaya lisan ini dilembutkan dan diberikan pikiran yang jernih.

اِقۡرَاۡ وَرَبُّكَ الۡاَكۡرَمُۙ

الَّذِىۡ عَلَّمَ بِالۡقَلَمِۙ

عَلَّمَ الۡاِنۡسَانَ مَا لَمۡ يَعۡلَمۡؕ

Bacalah, dan Tuhanmulah yang Mahamulia

Yang mengajar (manusia) dengan pena

Dia mengajarkan manusia yang tidak diketahuinya

Ada Allah sebagai Al-Akram, yang Mahamulia lagi Maha Pemurah karena sudah mengajari manusia dengan pena dan sesuatu yang sebelumnya tidak kita ketahui. Lalu kenapa kita masih menggantungkan diri pada yang lain, selain Allah swt? Kenapa kita masih membandingkan diri ini dengan orang lain padahal Allah telah memberikan yang terbaik?

Iya juga ya?

Photo by Sandra Grunewald on Unsplash

Saya jadi teringat pada ucapan Ustad Dr. Muhammad Yahya. Bahwa tujuan Allah swt meminta kita membaca di awal surah ini adalah agar kita bisa lebih mendekatkan diri pada-Nya seperti yang ayat terakhir tekankan. Sebagaimana kita tahu, bahwa sujud adalah gesture tubuh yang paling rendah, artinya kita diminta untuk merendahkan hati dan tidak sombong dengan pengetahuan yang kita miliki… wasjud waqtarib.

كَلَّا ؕ لَا تُطِعۡهُ وَاسۡجُدۡ وَاقۡتَرِبْ

Sekali-kali tidak! Janganlah kamu patuh padanya; dan sujudlah serta dekatkanlah (dirimu kepada Allah)


Mbak Dini juga mengingatkan bahwa iqra adalah sebuah aktivitas fisik yang melibatkan panca indra dan otak, begitu pula dengan wasjud (sujud) yang merupakan ibadah fisik. Sementara waqtarib (mendekatkan diri pada Allah) adalah aktivitas ibadah hati yang meaningful. Sebegitu lengkapnya Allah memberikan kita guidance untuk mencari ilmu dengan tuntunan Al-Qur’anul Karim.


Semakin kita mengakrabi Allah mestinya kita semakin mengenali diri kita dan semakin hati dan jiwa kita penuh dengan kalimat-kalimat Allah … wasjud waqtarib, sujudlah dan dekatkanlah dirimu kepada Allah.


Sebuah lingkaran yang tidak akan pernah usai.


Reset Our Priorities and Goals


Di akhir hari, akhirnya saya tahu ke mana semua pemikiran ini bermuara. Sudahkah prioritas saya sesuai dengan amanah yang Allah berikan tadi? Sudahkah saya setting goals hanya pada keridhoan Allah semata? Apakah betul tujuan hidup saya hanya jannah-Nya saja? 


Photo by Markus Winkler on Unsplash

Saya perlu menilik lebih dalam lagi ke hati dan jiwa saya. Saya perlu re-connect dengan Al Qur’an. Saya perlu mereset prioritas dan tujuan hidup saya. Karena sesungguhnya, hanya kepada Allah-lah tempat saya kembali.

Inna ilaa rabbikar ruj’aa.

 

Kontributor : Dyah Prameswarie

0 comments