Jamuan Mewah ala Jannah

Dalam meeting pekanan kali ini, sebuah refleksi menarik diungkapkan oleh mbak DK Wardhani, tentang bayangannya mengenai jamuan mewah yang dihidangkan Allah untuk para penghuni surga. Di surat Al-Ghasyiyah yang kami bahas ini, gambaran surga berisi piala-piala minuman yang indah dan mewah, lalu mbak Dini mengingatkan kami bahwa Allah sebagai 'tuan rumah' begitu memuliakan para ahli surga dengan memberikan jamuan yang dihidangkan dalam peralatan makan terbaik.

Photo by Roger Ce on Unsplash


وَأَكْوَابٌۭ مَّوْضُوعَةٌۭ ١٤

...dan piala-piala (minuman) yang didekatkan

Jika kita menjadi tuan rumah yang mengharapkan tamu istimewa, tentu kita akan berusaha menyambutnya dengan sebaik-baiknya. Tidak jarang kita akan mengondisikan anak-anak dan anggota keluarga yang ada di rumah untuk turut menyambut sang tamu. Bisa saja anak-anak kita ajarkan untuk bersikap ramah, menyambutnya dengan senyuman dan sikap hangat. Semua itu semata-mata agar sang tamu merasa bahwa ia diharapkan dan dihargai sebagai tamu di rumah kita.

Photo by Jonathan Borba on Unsplash

Apabila ternyata sang tamu akan menginap di rumah, kita pastikan rumah sudah bersih dan rapi sebelum kedatangan tamu tersebut. Kita siapkan tempat tidur yang nyaman, memastikan kamar mandi memiliki perlengkapan yang cukup, misalnya meletakkan handuk bersih di kamar mandi atau menyiapkan air minum di kamar tidur dan menyiapkan ruang tamu yang nyaman. Dan perhatikanlah bagaimana Allah menyiapkan surga untuk tamu-tamuNya.


وَنَمَارِقُ مَصْفُوفَةٌۭ ١٥

وَزَرَابِىُّ مَبْثُوثَةٌ ١٦

...dan bantal-bantal sandaran yang tersusun, dan permadani-permadani yang terhampar...

Beberapa waktu lalu di Instagram, saya menemukan sebuah postingan yang kurang lebih pesannya mengajak untuk menormalisasi kondisi rumah 'apa adanya' meskipun ada tamu yang datang berkunjung. Tentu saja, banyak yang kontra di kolom komentar postingan tersebut. Dalam tradisi dan budaya kita, menyiapkan rumah dalam kondisi 'prima' adalah bentuk pemuliaan terhadap tamu yang Alhamdulillah merupakan salah satu adab muslim juga. Namun yang juga membuat saya tertegun sejenak adalah, ternyata ada orang yang menganggap bahwa memuliakan tamu bukanlah hal penting. Terbukti sampai ada yang membuat postingan semacam itu, pun ada juga yang sepakat dengan pendapat itu.

Kembali ke perihal memuliakan tamu, mbak Dini menyebutkan bahwa kalau dipikir-pikir peralatan makan yang mewah itu tidak ada yang terbuat dari bahan plastik. Hal itu membuat kita mestinya kembali memikirkan bagaimana cara kita memuliakan tamu, bukan hanya pada apa yang kita hidangkan kepada mereka tetapi juga bagaimana cara kita menghidangkannya. Dalam hal ini adalah peralatan makan.

Photo by Louis Hansel on Unsplash

Saya pun teringat kembali, dulu orang tua menyimpan satu paket cangkir teh yang hanya akan dikeluarkan jika tamu yang hadir di rumah adalah 'orang penting'. Benda-benda yang istimewa, kita hidangkan untuk orang yang juga istimewa. Mbak Dini juga menambahkan, kini banyak sekali kita menemukan orang-orang yang hanya menyediakan air mineral kemasan untuk hidangan pada hari raya yang mana tentu saja kemasannya hanya dari plastik. Memang lebih memudahkan bagi tuan rumah, tapi selain tidak ramah lingkungan sesungguhnya itu tidak mencerminkan pemuliaan terhadap tamu sebagaimana Allah memuliakan tamu-tamuNya.

Kenikmatan Surga itu Sustainable

Refleksi lain disampaikan mbak Iva tentang kenikmatan surga yang lain dalam ayat 12;


فِيهَا عَيْنٌۭ جَارِيَةٌۭ ١٢

Di sana ada mata air yang mengalir


Terdapat beberapa tafsir dari ayat ini. Saya mendapatkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah bahwa aliran air di surga mengalir ke manapun kita mau. Dalam artian, ke manapun kita pergi, aliran air sungai di surga akan mengikuti kita sehingga setiap kita ingin meminumnya tidak perlu usaha untuk mendapatkannya.

Makna lain disampaikan mbak Iva, bahwa mata air adalah simbol keberlanjutan. Maka kenikmatan di surga itu tidak akan pernah habis. 

Photo by Philippe Bout on Unsplash

Ketika mendengar penyebutan kata berkelanjutan, kembali ingatan saya membayangkan tentang kondisi lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa pemilihan kata ketika menyampaikan sesuatu akan sangat berpengaruh pada bagaimana kita menerima pesan dari informasi yang sampai kepada kita. Bahwa surga adalah tempat kenikmatan yang abadi, tentu semua sudah memahaminya. Tapi ketika dikatakan bahwa kenikmatan di surga itu berkelanjutan, hati dan otak kita -atau setidaknya saya- akan merespon dengan perspektif lain.

Pembahasan tentang kenikmatan-kenikmatan di surga ini juga memberi saya perspektif baru bahwa betapa banyak manusia di dunia ini yang berusaha atau berhasil mencicipi kenikmatan surga namun tidak akan bisa mendapatkan kenikmatan hakiki yang sejati nanti. Insight dari mbak Echa bahwa khamr dan gaya hidup bermewah-mewahan yang dengan susah payah diusahakan manusia di dunia sesungguhnya adalah hak para ahli surga. Sebaliknya, ibadah-ibadah yang diusahakan dengan susah payah di dunia oleh orang-orang beriman sesungguhnya adalah supaya tidak perlu dilakukan lagi nanti di akhirat atau bisa jadi merupakan pembiasaan untuk memantaskan diri menjadi ahli surga, seperti menjauhi perkataan sia-sia misalnya yang merupakan salah satu ciri penghuni surga.


لَّا تَسْمَعُ فِيهَا لَـٰغِيَةًۭ ١١

di sana (kamu) tidak mendengar perkataan yang tidak berguna


Tulisan berikutnya di bawah ini, merupakan terjemahan dari tulisan seorang muslimah yang menurut saya relevan dengan tema diskusi kami kali ini. Sejak membacanya, setiap kali ada pembicaraan mengenai jamuan makan atau pesta, saya selalu teringat pada tulisan ini. Beberapa bagian saya sunting agar sesuai, semoga bermanfaat.

Jika Tuhan mengundangmu ke sebuah pesta

Saya menemukan sebuah puisi pendek yang indah dari Hafiz, penyair Persia yang sangat terkenal, yang berjudul 'Jika Tuhan Mengundangmu Ke Sebuah Pesta', dan sejak pertama kali membacanya saya tidak bisa melupakannya. Silakan dibaca dan mari kita merenungkannya bersama;


If God
Invited you to a party
And said,

'Everyone
In the ballroom tonight
Will be my special
Guest...'

How would you then treat them
When you
Arrived?

Indeed, indeed!

And I know
There is no one in this world

Who
Is not upon
His Jeweled Dance
Floor


Setiap orang adalah "tamu istimewa" Allah

Kalimat ini, tentu saja, yang pertama kali menyentuh hati saya. Kalimat ini merupakan pengingat yang kuat tentang bagaimana setiap manusia di dunia ini, tua atau muda, apapun bahasa mereka, apapun warna kulit mereka, adalah tamu istimewa Allah di dunia ini. Kadang-kadang, ketika saya berada di tempat yang ramai, saya meluangkan waktu sejenak untuk memperhatikan bagaimana setiap orang memiliki ciri-ciri yang sangat berbeda pada wajah mereka: ada memiliki mata yang lebih kecil, ada memiliki hidung yang lebih mancung, ada juga yang memiliki rambut yang lebih terang, dan lain-lain. Namun, tidak peduli betapa berbedanya penampilan kita semua, pada intinya kita semua adalah milik Allah, dan "tamu istimewa".

Bagaimana saya akan berinteraksi dengan tamu-tamu istimewa Allah lainnya?

Bayangkan jika kita diundang ke perjamuan kerajaan oleh Presiden - bagaimana kita akan berinteraksi dengan para tamu lainnya, karena kita tahu bahwa mereka juga telah disambut oleh otoritas tertinggi di negeri kita? Kita akan bersikap santun, sopan, dan ramah, bukan? Nah, bagaimana sikap kita terhadap tamu-tamu istimewa Allah?

Hal ini menyadarkan saya bahwa tidak peduli seberapa besar kita menganggap orang lain berdosa (dan dalam hal ini, bukankah kita semua adalah pendosa?!), tidak peduli seberapa besar kita tidak setuju dengan prinsip dan/atau gaya hidup mereka, mereka tetaplah tamu-tamu istimewa Allah. Siapa atau mengapa seseorang dipanggil untuk menjadi tamuNya di dunia ini, bukanlah urusan kita. Hanya Allah yang tahu sepenuhnya alasan di balik keputusanNya, dan Dia Maha Bijaksana. Namun sebagai orang yang beriman, dan sebagai sesama tamu, adalah kewajiban kita untuk mengetahui tempat kita, bersikap hormat, bersikap santai, dan menjadi tamu yang baik, alias manusia biasa!

Akankah saya bersyukur karena telah diundang?

Ketika saya memikirkan hal ini lebih dalam, saya mulai tersadar, "SAYA JUGA ADALAH TAMU ISTIMEWA ALLAH. SAYA JUGA DIUNDANG KE PESTA INI!"

Bagaimana kita melakukan RSVP ke sebuah acara bergengsi? Pertama-tama, kita akan berterima kasih kepada tuan rumah yang telah memikirkan kita dan mengirimkan undangan, bukan? Kita akan merasa terhormat dan bersyukur atas kesempatan yang luar biasa ini, dan kita akan sangat senang. Namun, sudahkah kita bersyukur kepada Allah karena telah diundang ke pestaNya? Sudahkah kita bersyukur kepadaNya karena dapat menikmati saat-saat indah dalam hidup? Karena dapat menikmati makanan yang lezat, bertemu dengan orang-orang yang menarik dan bercakap-cakap dengan mereka? Atau apakah kita terlalu sombong dan tidak bersyukur untuk menyadari betapa berharganya nikmat yang telah dipilih oleh Allah untuk menerima undangan yang terhormat ini?

Akankah saya ingat bahwa pada akhirnya, saya harus meninggalkan pesta ini?

Salah satu pemikiran terakhir yang saya miliki saat membaca puisi Hafiz adalah pertanyaan ini: akankah saya ingat bahwa pada akhirnya, saya harus meninggalkan pesta ini? Dan pertanyaan terakhir inilah yang paling membuat saya takut. Sebagai manusia, terkadang kita mungkin akan teralihkan dan terbawa oleh hingar bingar pesta yang diundang oleh Allah. Namun, yang gagal kita ingat adalah, seperti halnya segala sesuatu dalam hidup ini, pesta itu pasti akan berakhir, dan kita semua harus pergi.

Masalahnya terletak pada saat kita mulai melupakan posisi kita yang rendah hati, yaitu sebagai tamu di dunia ini. Kita mulai dengan bodoh dan sombong berpikir bahwa "pesta" ini adalah tempat tinggal permanen kita, dan benar-benar lupa bahwa kita hanya ditempatkan di sini karena Allah Yang Maha Pemurah telah mengizinkan kita berada di sini. Sudahkah kita berhati-hati dalam menjaga hal-hal yang Allah pinjamkan kepada kita selama kita tinggal di "pesta" ini? Tubuh kita? Orang-orang yang kita cintai? Tanah air kita? Dalam keadaan seperti apa kita akan meninggalkan pesta ini? Bermartabat? Dihormati? Murni? Atau tidak penting? Tidak relevan? Kotor?

Terkadang, kita mungkin juga lupa untuk membawa diri kita dengan integritas selama berada di "pesta" ini. Kita mungkin telah terlibat dalam hal-hal yang tidak seharusnya kita lakukan, melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan, berinteraksi dengan sesama tamu dengan kasar dan tidak sopan - dan kita mengira tidak ada yang mengawasi.

Namun, Tuan Rumah kita selalu mengawasi, dan selalu mendengarkan. Dia menilai kita, dan berdasarkan perilaku kita selama pesta ini, yang akan menentukan apakah kita akan diundang ke pesta berikutnya. Dan dari apa yang saya dengar, pesta berikutnya adalah yang terbesar dari semuanya.Pesta yang paling indah, paling megah, paling agung, dengan "peserta" yang paling terhormat, dan bagian terbaiknya adalah, pesta .... tidak akan pernah berakhir.

Apakah kita akan diundang ke sana?

0 comments